Saya sudah sering jalan-jalan ke Monas, tapi biasanya saya pergi bersama teman-teman untuk sekedar lari pagi atau menikmati indahnya Jakarta dari puncak Monas. Tapi hari ini saya pergi bersama tante saya (kakak perempuan ibu saya) yang datang jauh-jauh dari Semarang untuk berbisnis dengan orang Senegal. Disela-sela waktunya, tante saya meminta saya menemaninya untuk jalan jalan di HI dan Monas.
Kami tiba di Monas pukul tiga sore, cuaca sedang cerah, maka kami putuskan utuk berteduh di salah satu kursi di bawah rindangnya pepohonan pinggiran area Monas. Disana beberapa orang juga terlihat bersantai. Jakarta memang butuh tempat nyaman seperti ini.
Nah, beberapa saat kemudian segerombolan wanita dengan logat bicara M*d*r* mendekat, mereka membawa-bawa ember berisi empat sampai lima teh botol, kami yang sedang mengobrol santai tentang kabar keluarga di kampung halaman merasa terusik. Apalagi, setelah salah satu dari perempuan itu membuka tutup teh botol dan langsung menyodorkannya pada kami tanpa babibu. Lalu terjadi percakapan.
"Silahkan dinikmati," ucap perempuan itu.
Kami menjawab santun, "maaf tidak, mbak, kami sudah bawa minuman."
"Ayolah, sayang nih udah dibuka."
"Kan kami tidak minta mbak."
"Ayolah satu saja, kasian nih saya lagi hamil."
Saya tak bisa menjawab lagi, saya melirik ke perut perempuan itu, besar, tapi saya tidak bisa memastikan itu karena dia hamil atau karena makan uang hasil memaksa. Tante saya kali ini mulai emosi. "Mbak kalau mbak baik-baik mungkin saya beli, tapi kalau caranya tidak sopan seperti itu saya tidak mau. Maaf, sekali lagi maaf!"
Tapi perempuan teh botol itu terus mendesak. Tante saya semakin emosi, dia memandang lurus dan tajam ke perempuan penjual itu, "Maaf." Tatapan tante saya seolah berkata, mau cari ribut nih?"
Akhirnya perempuan penjual teh botol itu itu ngeloyor pergi.
Kami tetap duduk disana dan beberapa kali melihat para korban lain yang sedang dipaksa membeli teh botol itu. Sepasang anak muda yang sepertinya sedang bepacaran malah diancam, kami mendengar percakapan mereka dengan penjual teh botol itu. setelah seperti biasa si penjual membuka tutup teh botolnya tanpa bicara dulu.
"Silahkan teh botolnya."
"Maaf tidak."
"Disini semua harus beli teh botol, kalau tidak nanti dipalak sama teman-teman saya yang preman. kalau beli nanti kalian aman duduk disini."
Pasangan muda-mudi tadi memilih mengalah meninggalkan tempat itu.
Beberapa korban lain tampak berhasil dipaksa membeli teh botol. Bahkan ada yang dipatok dengan harga tinggi. Sebotol teh botol bisa sampai 75ribu - 200ribu rupiah. Menyebalkan.
Berikut link para korban yang ternyata sudah banyak dan menceritakannya lewat internet.
Saya sempat berpikir untuk mengadu di pos polisi atau pos keamanan terdekat, tapi tante saya bilang, sudahlah, biarkan saja, mereka hanya sama-sama berjuang untuk hidup, yang penting kita tidak melakukannya seperti cara mereka, memaksa, toh mereka tidak melukai kita. Jadi saya mengurungkan niat saya. Lagipula saya pikir apa iya pos keamanan disana tidak tahu ada masalah seperti ini? Atau mereka tahu tapi tidak bisa berbuat banyak karena para preman memang lebih berkuasa dan sanggup berbuat nekat?
Sungguh sangat disayangkan, salah satu icon Jakarta dirusak oleh orang seperti itu, tidakkah mereka sadar bahwa yang jadi korban mereka adalah sama-sama orang kecil dan sama-sama berjuang di kota tercinta kita ini.
Kalau pak Jokowi dan pak Ahok tahu pasti langsung di BASMI tuh hehehe.
0 komentar:
Posting Komentar